
Paling ideal, kaum lelaki menikah pada usia 25-30 tahun. Tapi karena berbagai faktor internal dan eksternal, banyak kalangan perjaka baru menempuh kehidupan baru pada usia di atas kepala tiga. Maka bila dia pegawai, baik itu PNS maupun swasta, di kala dia sudah pensiun, anak-anaknya justru butuh biaya banyak untuk studinya. Kalau kelasnya seperti Nazarudin, nggak masalah. Tapi jika kelas Udin yang angon sapi alias Sapiudin, masa depan anak keturunannya semakin suram dan buram.
Danang yang asal Pacitan (Jatim), ternyata termasuk lelaki malang itu. Hingga usia kepala tiga, belum juga berkeluarga. Padahal meski gaji kecil, penghasilan tetap juga ada. Atas saran keluarga dan handai taulan, dia
kemudian diperjodohkan dengan mbok randa ndadapan (janda) bernama Ny. Margini, 40 (bukan nama sebenarnya). Orangnya memang agak kenthir, tapi masih bisa diajak tembayatan (bekerjasama) dalam rumahtangga. Berkat bimbingan Danang kelak, keluarga sakinah dijamin bisa tercipta.
kemudian diperjodohkan dengan mbok randa ndadapan (janda) bernama Ny. Margini, 40 (bukan nama sebenarnya). Orangnya memang agak kenthir, tapi masih bisa diajak tembayatan (bekerjasama) dalam rumahtangga. Berkat bimbingan Danang kelak, keluarga sakinah dijamin bisa tercipta.
Lantaran tak ada tokoh alternatif, koalisi setengah hati itupun dibangun. Singkat cerita, Danang menikahi janda Margini yang sudah punya anak gawan (bawaan) bernama Sarini. Awalnya mantan perjaka tua tersebut sangat berbahagia beristrikan Margini. Tapi karena aslinya memang agak kenthir, lama-lama dia jadi semaunya dalam mengatur rumahtangganya. Paling prinsipil, Margini tak bisa lagi memberikan “pelayanan” prima di atas ranjang. Ibarat orang bulutangkis, Danang sudah memberikan smash tajam menukik, eh…..Margini hanya main back hand melulu!
Punya istri yang bak gedebok pisang tersebut, lama-lama Danang jadi jenuh. Dia mencari pelarian baru. Bukannya mencari WIL, tapi justru mendekati anak tirinya, Sarini yang mulai beranjak dewasa. Maka bila di Jakarta pernah ada Anang – Sahrini, di Pacitan diam-diam justru ada duet Danang – Sarini. Dengan bujuk rayunya, suami kesepian itu akhirnya berhasil “mbelah duren” jatohan milik Sarini sang anak tiri. Tentu saja hal ini dilakukan di kala istrinya tak di rumah.
Minggu lalu, Lebaran 1432 H telah tiba. Warga kota Pacitan selepas salat Ied hari Kamis 1 September 2011 muter silaturahmi ke kampung-kampung, berhalal bihalal di rumah sanak famili. Tapi saat hendak masuk rumah Danang, mereka justru terhenyak. Dengan mata kepala sendiri para tamu melihat tuan rumah, Danang di kamar sedang menyetubuhi Sarini anak tirinya. Mereka pun surut dan mundur, lalu keluar rumah dengan malu hati. “Edan, esuk-esuk anak kuwalon dijak kelon (gila, pagi-pagi ngeloni anak tiri)…,” kata warga emosi.
Tadinya mereka mau bersalaman dan bermaafan dengan suami istri Danang – Margini, kini justru jadi marah karena Danang tak bisa menghargai makna Lebaran. Apa lagi hal itu dilakukan dengan anak tirinya. Maka bila tamu Lebaran biasa disuguh ketupat, justru kini tuan rumah diberi “ketupat bengkulu” sampai babak belur. Lebih dari itu, persoalan segera dilimpahkan ke Polresta Pacitan.
Dalam pemeriksaan Danang mengakui bahwa dia jadi “mata gelap” lantaran istrinya yang agak kenthir itu tak bisa lagi melayani secara prima. Maka sejak sebulan lalu dia melampiaskan nafsunya pada anak Sarini anak tirinya. Akibat tindakan bejatnya tersebut, Danang terancam dijebloskan ke penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, karena melanggar pasal 82 UU No 32 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Pelindung malah mengajak masuk sarung! (DS/Gunarso TS)